Dua video di atas adalan konteks pembicaraan saya kali ini. Jika anda kurang jelas memahami video saya, silahkan ditonton kedua video di atas.
Media banyak mengangkat frase kalimat "agama musuh pancasila" dari kalimatnya Prof Yudian. Tetapi, dalam video ini, saya lebih tertarik mengangkat pemikiran Prof Yudian yang cemerlang, yang melampaui pemikiran bapa-bapa pendiri bangsa kita. Dan menariknya, pemikiran Prof Yudian ini juga sejajar dengan memikirkan Prof Mahfud MD yang memakai teori prismatik. ... https://www.youtube.com/watch?v=r3XFFxvViHA
#MualafYahyaWaloni #MualafDeddyCorbuzier #2TipeMualaf
Video ini menjawab pertanyaan, Mengapa Banyak Mualaf yang Ngurusin Agama Kristen? "Ngurusin" di sini dalam pengertian negatif, karena mengandung nada sinis, kebencian dan merendahkan. Ada 2 tipe atau kategori mualaf: Yahya Waloni vs Deddy Corbuzier. Dan ternyata, mualaf yang selalu ngurusin agama Kristen itu berasal dari kategori Yahya Waloni. Sedangkan kategori Deddy Corbuzier lebih fokus pada agama barunya, yaitu Islam yang indah.
Pertanyaan itu dijawab berdasarkan teori psikologi populer bukunya Andrew Matthews yang berjudul "Ikuti Kata Hatimu". Manusia yang adalah makhluk kebiasaan itu akan sulit berubah karena manusia hidup dengan pola kebiasaannya. Manusia mau berubah kalau ada masalah, jalan buntu, musibah dan lain-lain. Perubahan dari A ke B melewati titik-ruang hitam-gelap yang chaos/kacaubalau.
Proses melewati titik hitam ini tidaklah mudah, penuh dengan kesulitan. Dalam kondisi sulit demikian, seseorang akan selalu ingat dengan masa lalunya. Dalam hal ini, seseorang akan selalu mengingat agama lalunya. Mualaf kategori Yahya Waloni akan selalu mengingat agama Kristen, dan menjelek-jelekkannya.
Mualaf kategori Deddy Corbuzier membutuhkan waktu hitungan bulan untuk melewati titik hitam dan merasa nyaman dan berakar di dalam agama Islam, sedangkan mualaf kategori Yahya Waloni membutuhkan waktu belasan tahun (dan itu pun belum nampak kedewasaan-dan-kedamaiannya) dan belum berakar juga, karena itu nampak dari tiadanya kedamaian dalam dirinya.
Ternyata, bukan hanya mualaf saja. Orang Islam yang masuk Kristen pun harus melewati titik gelap ini. Banyak yang masuk Kristen bertingkah laku sama dengan kategori Yahya Waloni. Mereka menjelek-jelekkan agama lalunya, yaitu Islam.
Kita perlu memaklumi perubahan dan proses orang yang berpindah agama yang harus melalui titik hitam ini. Sekalipun demikian, mualaf yang konyol dan keterlaluan tetap perlu diberi pelajaran.
Saya pro dengan kategori Mualaf Deddy Corbuzier dan mendorong kategori Mualaf Yahya Waloni untuk lebih fokus dalam mencintai agama barunya/Islam yang dipeluknya.
...
https://www.youtube.com/watch?v=iRlhkQlfTa8
Sebetulnya, perpustakaan pribadi saya itu adalah wilayah privat saya. Tetapi, karena keterbatasan ruang, akhirnya saya menerima seorang anak muda untuk beristirahat di perpustaakaan saya. Dia terkejut melihat banyaknya buku saya dan setelah melihat ke sana ke mari, dia bercerita hal pribadi yang tidak bisa dia ceritakan ke orang lain. Hal pribadi itu adalah bahwa dia sesungguhnya seorang ateis.
Kemudian saya bertanya, mengapa dia berdoa kalau dia ateis? Dia berdoa hanya untuk membahasakan keyakinan, keinginan dan harapan anggota keluarganya. Seluruh anggota keluarganya tidak tahu kalau dia adalah seorang ateis. Dan dia pun tidak merasa pas untuk memberi tahu bahwa dirinya itu seorang ateis, kuatir akan menggemparkan keluarganya. Jadi, saat ini, dia hanya bisa menjadi ateis diam-diam.
Di Indonesia, memang menjadi ateis bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Tetapi, begitu anak muda ini berkesempatan ke negara yang menerima ateis, maka jadilah dia ateis terbuka yang tulen.
Sudah 100 tahun ini, perkembangan ateis begitu luar biasa, mencapai sekitar setengah orang Kristen. Lebih dari 1 miliar, orang telah menjatuhkan pilihannya kepada ateis. Ini perkembangan luar biasa, seluar biasa perkembangan sains dan teknologi. Dan memang, di dalam bahasa sains dan teknologi lah ateis dan non-religius berkembang semakin mengglobal.
Sedangkan agama-agama tradisional, yang lahir secara lokal dengan bahasanya yang sangat kultural, berada dalam pertumbuhan angka persentase yang begitu-begitu saja, alias jalan di tempat, kecuali Islam yang berkembang cukup signifikan (menurut Davit Barret). Sekalipun demikian, di Indonesia, angka persentasenya tidak ada perubahan yang signifikan.
Mungkin kita perlu mengkonstruksi bahasa doktrinal teologis yang bergerak ke masa depan, bukan ke belakang dengan beban konflik berkepanjangan. Jika tidak berorientasi ke depan, maka relevansi bahasa keagamaan akan semakin pudar, dan jangan heran kalau 100 tahun ke depan, pertumbuhan ateis dan non-religius ini akan semakin dahsyat.
...
https://www.youtube.com/watch?v=FW4tRgseVrw
“Paling telat besok jam 2 siang” itu perkataan Roh Kudus atau perkataan Thomas Candra? Dan siapa Roh Kudus di sini?
...
https://www.youtube.com/watch?v=qeaeYzFe3wc